Tiga Anekdot Lucu tentang Seorang Teman yang Berpotensi sebagai Tambahan Penyemangat Sistem Kekebalan Tubuh
Anekdot Lucu #1 Membeli Buku LKS
Saya pernah memiliki seorang teman yang, tanpa alasan yang jelas, selalu gagal naik ke tingkat yang lebih tinggi. Jika terjadi sekali atau dua kali, itu merupakan hal yang umum. Namun, dia tidak meningkat kelas hampir setiap tahun. Panggil saja teman kita ini sebagai Sastro. Dikarenakan seringnya tidak naik kelas, rumor mulai beredar bahwa ia adalah siswa satu-satunya yang memiliki catatan akademis terisi penuh hingga click here halaman terakhir. Saya dulu sekelas dengannya saat saya di kelas 1 SD, namun setelah saya naik ke kelas 2, dia masih tetap di kelas 1. Selama bertahun-tahun ini telah berlangsung secara konsisten. Tidak mengherankan bahwa banyak teman seangkatan di desa saya yang pernah bersekolah dengan Sastro.
Karena tidak pernah naik kelas, Sastro kemudian disebut bodoh. Meskipun demikian, saya sendiri yakin bahwa ia tidak bodoh seperti yang dikatakan orang lain. Saya bahkan pernah ditipunya sekali, memperkuat keyakinan bahwa ia tidak sebodoh itu.
Besar kemungkinan, ia mengalami disleksia, tetapi pada saat itu siapa yang mengerti tentang disleksia. Pada tahun itu, film Taare Zameen Par belum dirilis. Oleh karena itu, untuk memudahkan, bisa dikatakan bahwa Sastro benar-benar kurang cerdas. Sebagai siswa yang lebih senior di sekolah, Sastro pastinya menjadi teladan. Meskipun berada di kelas 1, Sastro memiliki usia yang cukup tua karena telah beberapa kali tidak naik kelas, menyebabkan ia ditakuti oleh teman sekelasnya dan bahkan oleh anak-anak di kelas di atasnya.
Sastro lebih sering bergaul dengan anak-anak kelas 4-5 yang pernah berada satu kelas dengannya beberapa tahun sebelumnya.
Orang tua Sastro akhirnya memutuskan untuk mengeluarkan Sastro dari sekolah setelah ia terus-menerus berada di kelas 1 selama bertahun-tahun.
Sastro menyatakan bahwa ia tidak terlalu memikirkan kondisi tersebut.
Sebagai teman, saya pernah secara santai menanyakan bagaimana rasanya tinggal di kelas 1 selama bertahun-tahun. Ia mengakui merasakan kepuasan. Pria yang saat ini bekerja sebagai penghibur jalanan di dekat rumahnya menjawab dengan senyum lebar. Dia menjawab pertanyaan saya tanpa menunjukkan penyesalan atas pengalaman yang menurut saya sangat menyakitkan.
Namun, ada satu kesempatan di mana saya sangat kesal dengan Bu Ida, katanya. Bu Ida adalah pendidik kami yang biasanya mengajar Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan serta agama. Mangkel mengapa? Pernah suatu saat dia menawarkan kepada anak-anak untuk membeli Lembar Kerja Siswa (LKS) dengan mengatakan, siapa yang ingin membeli LKS, silakan mengangkat tangan. Saya setuju untuk mengikuti instruksi tersebut. Selanjutnya, atas instruksi Bu Ida, saya diminta untuk menurunkan tangan. Beliau menyatakan, “Tidak perlu membeli LKS, karena belum pasti naik tahun depan.” Seperti apa sih? Tentu saja, komentar tersebut membuat saya tertawa. S
aya sangat menentang ketidakseimbangan dan ketidakadilan, tetapi pada kasus ini, saya sungguh menikmatinya. Seringkali saya menemui guru-guru yang demotivasi murid-muridnya, tetapi demotivasi yang diberikan oleh Bu Ida sangat berbeda. Jika orang yang mendapat celaan bukan saya, tetapi siswa lain, maka kemungkinan besar mereka akan merasa terpuruk. Gelakanku semakin berisik.
...